”Lir-ilir
tandure wus sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar. Cah angon
cah angon penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot-iro.
Dodot-iro dodot-iro kumitir bedah ing pinggir, dondomono jlumatono kanggo sebo
mengko sore. Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane, yo surako,
surak iyyoo!”
Gerhana
rembulan hampir total. Malam gelap gulita. Matahari berada pada satu garis
dengan bumi dan rembulan. Cahaya matahari yang memancar ke rembulan tidak
sampai ke permukaan rembulan karena ditutupi oleh bumi. Sehingga rembulan tidak
bisa memantulkan cahaya matahari ke permukaan bumi.
Matahari adalah lambang Tuhan. Cahaya matahari adalah rahmat
nilai kepada bumi yang semestinya dipantulkan oleh rembulan. Rembulan adalah
para kekasih Allah, para rasul, para nabi, para ulama, para cerdik cendekia,
para pujangga, dan siapapun saja yang memantulkan cahaya matahari atau
nilai-nilai Allah untuk mendayagunakannya di bumi. Karena bumi menutupi cahaya
matahari maka malam gelap gulita.
Dan di dalam kegelapan segala yang buruk terjadi. Orang tidak
bisa menatap wajah orang lainnya secara jelas. Orang menyangka kepala adalah
kaki. Orang menyangka utara adalah selatan. Orang bertabrakan satu sama lain.
Orang tidak sengaja menjegal satu sama lain, atau bahkan sengaja menjegal satu
sama lain. Di dalam kegelapan orang tidak punya pedoman yang jelas untuk
melangkah, bahkan ke mana melangkah, dan bagaimana melangkah.
Ilir-ilir, kita memang sudah nglilir, kita sudah bangun, sudah bangkit. Bahkan kaki kita sudah
berlari ke sana ke mari, namun akal pikiran kita belum, hati nurani kita belum.
Kita masih merupakan anak-anak dari orde yang kita kutuk di mulut, namun
ajarannya-ajarannya kita biarkan hidup subur di dalam aliran darah dan jiwa
kita.
Kita
mengutuk perampok dengan cara mengincarnya untuk kita rampok balik. Kita
mencerca maling dengan penuh kedengkian, kenapa bukan kita yang maling. Kita
mencaci penguasa lalim dengan berjuang keras untuk bisa menggantikannya. Kita
membenci para pembuat dosa besar dengan cara setan, yakni melarangnya untuk
insaf dan bertobat. Kita memperjuangkan gerakan anti penggusuran dengan cara
menggusur. Kita menolak pemusnahan dengan merancang pemusnahan-pemusnahan. Kita
menghujat para penindas dengan riang gembira sebagaimana Iblis, yakni kita
halangi usahanya untuk memperbaiki diri.
Siapakah selain setan, iblis dan dajjal, yang menolak husnul
khotimah manusia, yang memblokade pintu sorga, yang menyorong mereka mendekat
ke pintu neraka? Sesudah ditindas, kita menyiapkan diri untuk menindas. Sesudah
diperbudak, kita siaga untuk ganti memperbudak. Sesudah dihancurkan, kita susun
barisan untuk menghancurkan.
Yang kita bangkitkan bukan pembaruan kebersamaan, melainkan
asyiknya perpecahan. Yang kita bangun bukan nikmatnya kemesraan, tapi
menggelegaknya kecurigaan. Yang kita rintis bukan cinta dan ketulusan,
melainkan prasangka dan fitnah. Yang kita perbaharui bukan penyembuhan luka,
melainkan rencana-rencana panjang untuk menyelenggarakan perang saudara. Yang
kita kembang suburkan adalah kebiasaan memakan bangkai saudara-saudara kita
sendiri.
Kita tidak memperluas cakrawala dengan menabur cinta, melainkan
mempersempit dunia kita sendiri dengan lubang-lubang kebencian dan iri hati.
Pilihanku dan pilihanmu adalah apakah kita akan menjadi bumi yang mempergelap
cahaya matahari, sehingga bumi kita sendiri tidak akan mendapatkan cahayanya,
atau kita berfungsi menjadi rembulan, kita sorong diri kita bergeser ke alam
yang lebih tepat, agar kita bisa dapatkan sinar matahari dan kita pantulkan
nilai-nilai Tuhan itu kembali ke bumi?
(Emha Ainun Nadjib dalam album Kyai Kanjeng: Menyorong Rembulan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar